Kampung Ratenggaro |
Pulau Sumba kini
menjelma menjadi salah satu destinasi wisata favorit bagi para traveller. Seakan tak mau kalah dengan Labuhan
Bajo di Pulau Flores, Pulau Sumba kini mulai memperkenalkan daya tarik wisatanya
yang menyajikan perpaduan antara budaya dan pesona alam. Perpaduan tersebut
tentunya akan memberikan pengalaman dan nuansa wisata yang unik dan berbeda bagi
para traveller.
Transportasi
udara menjadi moda transportasi paling mudah dan praktis untuk menuju pulau
ini. Bisa juga sobat traveller untuk
menggunakan kapal laut dari ibu kota NTT, yaitu Kupang. Namun, tentunya pilihan
tersebut akan memakan waktu yang lama dan menguras tenaga. Oleh karena itu, gue
rekomendasikan kepada para traveller
untuk memanfaatkan transportasi udara saja. Kecuali kalau sobat traveller pengen pengalaman yang lain,
bolehlah untuk pakai kapal ke Sumba hahaha. Jika menggunakan transportasi
udara, pintu masuk Pulau Sumba ada dua, yaitu Bandara Tambolaka di Kabupaten
Sumba Barat Daya dan Bandara Umbu Mehang, di Kabupaten Sumba Timur. Harga tiket
dari Bali ke kedua bandara tersebut berkisar di angka satu juta rupiah.
Pada kesempatan
kali ini, gue milih untuk mulai travelling di Pulau Sumba dari Kabupaten Sumba
Barat Daya. (Perjalanan ini gue lakukan
pada tanggal 25-28 Januari 2021). Ketika itu penerbangan menuju Bandara
Tambolaka dapat diakses menggunakan maskapai NAM air ataupun Wings Air dari
Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali.
Sedikit informasi
untuk sobat semua, di Pulau Sumba masih belum menyediakan rental mobil lepas
kunci seperti halnya di Bali. Jika kalian ingin rental mobil, kalian harus
menyewa mobil sekaligus dengan sopirnya. Kenapa? Berdasarkan keterangan dari guide wisata kami, faktor keamanan masih
menjadi isu utama di Sumba. Masih marak kasus pemalakan ataupun pencurian
kepada wisatawan. Selain itu, medan di Sumba yang masih berupa hutan, padang
ilalang, hingga berbukit-bukit sangat berbahaya bagi para pengemudi dari luar
Sumba yang belum mengenal medan.
Setelah gue
berdiskusi dengan istri tercinta, akhirya kamipun memilih untuk menggunakan
jasa private tour untuk meng eksplore Sumba. Kenapa kami memilih
menggunakan private tour? Bukannya
mahal ya? Iya, betul sekali! Kalau menggunakan jasa private tour jatuhnya memang lebih mahal. Namun, selisihnya gak begitu
banyak kok. Ketika itu, kami menggunakan jasa private tour dari Your Sumba.
Tarif untuk 2 orang dengan durasi 4 hari 3 malam adalah 6,98 juta, sudah include makan, penginapan, guide, mobil,
dan retribusi tempat wisata. Jika kami memilih untuk ngeteng, kami harus rental mobil plus sopir dengan tarif 700 ribu per harinya. Jika dikali 4,
jatuhnya sudah 2,8 juta. Belum lagi biaya retribusi masuk ke destinasi wisata,
biaya makan, dan penginapan. Jika di total, jatuhnya juga hampir 6 jutaan lah.
Selain biaya yang dikeluarkan beda tipis, dengan menggunakan jasa private tour, kami dapat keuntungan
dengan didampingi guide yang selalu
menemani sepanjang perjalanan sambil menjelaskan segala macam seluk beluk
Sumba. Ada satu hal yang membuat private
tour itu enak, yaitu kami gak usah mikir nyusun reencana perjalanan! hahaha
Welcome
to Sumba! Ketika itu hari senin, tanggal 24 Januari 2021 sekitar pukul
13.00 kami tiba di bandara Tambolaka. Dari titik inilah petualangan kami untuk menjelajah
Pulau Sumba dimulai! Karena menggunakan jasa private tour, sekeluarnya kami dari bandara, kami langsung dijemput
oleh guide kami. Mobil yang akan kami
gunakanpun tidak tanggung-tanggung, innova guys!
Karena hari
sudah siang, dan pada hari itu ada satu destinasi yang harus kami kunjungi,
tanpa banyak buang-buang waktu, kami langsung menuju hotel untuk check in dan makan siang. Sekitar pukul
14.30, ditemani hujan rintik-rintik, kami meluncur menuju ke destinasi pertama
kami, yaitu Kampung Adat Ratenggaro.
Jarak kota
Tambolaka dengan Kampung Adat Ratenggaro sekitar 56 km. Memerlukan waktu
sekitar satu jam tiga puluh menit perjalanan menggunakan mobil. Jalan menuju Ratenggaro tak begitu lebar namun
kondisi aspal lumayan mulus. Meskipun jalanannya sepi, namun tetap harus
hati-hati ya guys, mengingat kita
melewati wilayah pedesaan yang masih banyak anak-anak ataupun hewan berkeliaran
di jalanan. Kebayang kan kalua saat kecepatan mobil kita 80 km/jam tiba-tiba
ada anjing lari nyebrang jalan? Bisa-bisa kita malah mobil kita nyungsep ke
semak-semak wkwkwk. Sepanjang perjalanan, kami disuguhi oleh hamparan
perkebunan warga dan sesekali perkampungan kecil.
Kampung Adat Ratenggaro
Setibanya di
Kampung Adat Ratenggaro, kami langusung dibuat terkagum-kagum dengan keunikan
rumah-rumah adat khas Sumba. Rumah-rumah adat tersebut berupa rumah panggung
yang terbuat dari kayu dan beratapkan jerami. Ciri khas rumah adat Sumba adalah
memiliki memiliki atap yang menjulang tinggi, bahkan ada yang mencapai 15
meter. Atap yang tinggi menjulang tersebut bukan tanpa fungsi. Masyarakat
memanfaatkan ruang kosong di dalam atap tersebut untuk menyimpan hasil panen.
Semakin kita meng-explore kampung adat ini, semakin kita
dibuat kagum. Ternyata, desa Adat Ratenggaro ini terletak persis di tepi
pantai. Dari sudut desa terlihat jelas bentangan pantai berpasir putih yang
menawan. Peris di bawah desa juga terdapat aliran sungai yang mengalir menuju
lautan sekaligus menjadi sumber air warga desa. Dari kejauhan, tampak batu-batu
besar yang tersusun rapi seperti meja. Ternyata tumpukan batu-batu tersebut
merupakan makam para leluhur mereka.
Makam Leluhur |
Makam leluhur di area kampung Adat |
Usut punya usut, ternyata Kampung Adat Ratenggaro yang sekarang ini merupakan hasil relokasi dari kampung lama. Lokasi kampung adat ini awalnya berada di sekitaran batu-batu makam leluhur yang letaknya di bibir pantai, sekitar 200 meter dari lokasi kampung yang baru. Kenapa kampungya pindah? Hal tersebut dikarenakan adanya abrasi dan ombak besar merobohkan rumah-rumah mereka sehingga mengharuskan para warganya untuk merelokasi kampungnya ke tempat yang lebih tinggi.
Letak kampung Ratenggaro yang berada di tepi pantai. |
Jika mengunjungi
kampung ini, jangan lupa sobat traveller
untuk membawa snek ataupun permen. Di kampung banyak sekali anak-anak yang
selalu membuntuti para wisatawan, menanti “pemberian” dari para wisatawan.
Selain itu, mereka juga menawarkan jasa foto dengan kuda. Biayanya lumayan
murah, 25 ribu untuk sekedar foto dan 50 ribu untuk menaikinya. Intinya, jangan
sampai menyesal kalau jauh-jauh pergi ke Sumba tetapi tidak menunggang kuda Sumba
yang sangat fenomenal.
Seorang pemuda menawarkan jasa foto dengan kuda |
Hujan semakin lebat, langit juga sudah mulai gelap. Sekitar pukul 17.00 WITA, kami kembali menuju hotel. Perjalanan hari pertama bagiku cukup memuaskan, bagaimana dengan hari ke dua? Ketiga? Dan Keempat? Nantikan ceritanya di episode selanjutnya.